Civil Society dan Otonomi Daerah (Bag 3) - Civil Society Terhadap Implementasi Otonomi Daerah

Amandemen Undang-Undang  No. 5 Tahun 1974 mengenai Pemerintahan Daerah mencoba membalikkan sentralisme kekuasaan pusat. Hal ini dapat dilihat dari substansi perubahan yang merupakan asas fundamental yang penting dalam konsep hubungan antara pusat dan daerah. Dasar legitimasi pemerintahan daerah yang baru (Undang-Undang  No. 22/1999), menurut Benyamin Hoessein menganut “the local democracy model”. Model  otonomi seperti ini lebih menekankan pada democratic and locallity values daripada efficiency values (the structural efficiency model).[1] Di samping itu, local democracy model menghargai local differences and system diversity, because local authority has both the capacity and the legitimacy for local choice and  local voice.[2]
Ilustrasi Daerah Otonom Baru, Sumber: Waspada
Walaupun Undang-Undang  No. 22 tahun 1999 memberikan lebih banyak kekuasaan kepada daerah, dalam prakteknya ternyata masih menyimpan banyak persoalan, baik teknis administrasi maupun respon Pemerintah Daerah dan masyarakat terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Realitas politik di daerah, seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah telah melahirkan persoalan pelik, baik di tingkat kelembagaan daerah maupun di pihak masyarakatnya sendiri, terutama yang menyangkut Kepala Daerah. Pemilihan dan pertanggungjawaban Kepala Daerah menjadi akar berbagai konflik yang muncul di Daerah, terutama dijadikan alat untuk memaksakan kepentingan kelompok-kelompok bila muncul ketidakpuasan. Dialog sebagai jalan terbaik dalam demokrasi dipahami sebatas bila sesuai kepentingan politik.

Upaya untuk meredam konflik adalah dengan merevisi Undang-Undang  No. 22 tahun 1999 dengan Undang-Undang  No. 32 tahun 2004. Perbedaan yang mendasar dari Undang-Undang  otonomi yang baru adalah pemilihan Kepala Daerah secara langsung, tidak lagi melalui mekanisme DPRD. Otoritas Kepala Daerah berdasarkan Pilkada Langsung sangat kuat dan tidak bisa dengan mudah dijatuhkan oleh DPRD, sebagaimana Undang-Undang  sebelumnya. Namun, realitas politik lokal menunjukkan justru konflik pilkada langsung jauh lebih luas spektrumnya. Konflik tidak lagi bersifat horizontal namun juga vertikal.

Konflik-konflik yang pada awalnya didasari pada perbedaan pendapat, kepentingan ataupun cara penyelesaian masalah yang ditempuh itu, karena tidak didasari oleh suatu pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai demokrasi dan terlalu besarnya gejolak eforia politik, sehingga yang terjadi adalah aksi-aksi yang mengarah pada pemaksaan fisik dan kekerasan. Bahkan bagi daerah-daerah tertentu, hal ini telah menjadi model tersendiri, yaitu dengan pengerahan massa untuk mewujudkan kepentingan tertentu, sekalipun mengorbankan nilai dan cara-cara yang demokratis yang pada akhirnya menimbulkan korban fisik.

Frans Magnis mengidentifikasi ada dua dimensi yang berdampingan dalam budaya kekerasan, yaitu dimensi politik dan dimensi sosial budaya. Dalam dimensi sosial budaya, kekerasan itu ada dalam praktek kehidupan sehari-hari, termasuk tindakan kriminal. Sedangkan dalam dimensi politik, kekerasan digunakan untuk mengintimidasi lawan politik atau untuk memaksakan kepentingan-kepentingan dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu, masyarakat hanya memahami bahwa penggunaan kekerasan bisa dijadikan alat untuk mencapai tujuan. Sedangkan pendekatan dialogis dalam mencapai kompromi dipahami sebagai sebuah kesia-siaan.[3]

Berdasarkan paparan di atas, jelas sekali terlihat bahwa keberadaan civil society dalam implementasi otonomi daerah masih belum nampak menjadi sebuah kenyataan. Dengan menggunakan kerangka berpikir  Eisenstadt, civil society  sebagai wilayah mandiri bagi aktivitas politik masyarakat masih didominasi oleh lembaga-lembaga formal politik.  Partisipasi politik rakyat –misalnya, dalam kasus pemilihan Kepala daerah- direduksi menjadi bentuk dukungan kepada calon Kepala Daerah. Otonomi daerah yang seharusnya meletakkan pada kepentingan masyarakat lebih banyak dimanfaatkan oleh elit politik daerah.

Begitu pula dengan akses masyarakat terhadap lembaga-lembaga politik yang ada di daerah. Dalam kerangka civil society setiap masyarakat harus mempunyai akses yang bebas terhadap lembaga-lembaga pemerintahan daerah. Dalam arti, setiap individu dapat melakukan partisipasi dalam berbagai bentuk.  Dan, pemerintah dituntut komitmennya untuk mewujudkan aspirasi masyarakat yang berkembang. Masyarakat memang diberikan kebebasan untuk berpartisipasi, namun keputusan akhir cenderung lebih mendasarkan pada kepentingan elit-elit politik, baik yang ada di lemabaga perwakilan maupun pemerintahan. Sehingga kebebasan untuk berpartisipasi lebih bersifat formalitas. Meminjam istilah Huntington, bentuk seperti itu disebut “partisipasi semu”.[4]

Padahal secara teoritis, dengan adanya perluasan wewenang pemerintah daerah ini akan dapat tercipta apa yang Smith (1985) sebut dengan local accountability , yakni meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya. Namun pada sisi lain, kebijakan otonomi daerah juga tidak kecil kemungkinan membuka peluang semakin terkonsentrasinya kekuasaan di tangan local state-actors (birokrat dan politisi di daerah). Ini sebenarnya salah satu bahaya dari perluasan otonomi daerah yang perlu dicermati. Bila kecenderungan ini yang terjadi, maka otonomi daerah tidak akan serta merta membuka peluang terwujudnya civil society. Apalagi kalau  mencermati perilaku elite lokal dalam mengimplementasikan otonomi daerah.

Tamat.


[1] Lihat Benyamin Hossein, 1999, ”the structural efficiency model”  mengutamakan pentingnya menghimpun sumber daya dan potensi dari daerah yang ditarik ke pusat, dengan dalih untuk pemerataan dan pemberian pelayanan secara efisien kepada local communities, akibatnya lebih mendorong intervensi pusat yang lebih besar untuk mengontrol pemerintah daerah guna menjamin efisiensi dan kemajuan ekonomi, penekanan yang lebih besar kepada “uniformity and conformity”, serta monopolistik dengan mengabaikan nilai-nilai lokal dan keanekaragaman daerah, yang pada akhirnya mengabaikan nilai-nilai demokrasi
[2] Lihat Halligan, John, and Chris Aulich,  “Reforming Australian Government: Impact and Implications for Local Public Administration”, dalam Reforming Government: New Concepts and Practices in Local Public Administration, Tokyo: Eropa Local Government Center, 1998, dalam Bhenyamin Hoessein : “Landasan Filosofis Tentang Pembentukan Daerah Otonom di Indonesia”, IULA-ASPAC, 1999, hlm.6
[3] Lihat Kompas, 19 Oktober 1998
[4] Lihat Huntington dan Joan Nelson. Partispasi Politik di Negara Berkembang. Rineka Cipta:Jakarta. 1994


Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Civil Society dan Otonomi Daerah (Bag 3) - Civil Society Terhadap Implementasi Otonomi Daerah"

Posting Komentar