Negara Syiah Modern, Republik Islam Iran (Bag 3) - Kondisi Ideologis

Terdapat dua kelompok yang berpengaruh dalam perumusan ideologi pergerakan Revolusi Islam Iran, yakni; ‘ulama’ (religious scholars) dan intelektual awam (lay intellectuals) di pihak lain. Di antara yang paling menonjol di dalam kelompok ‘ulama’ termasuk, tentu saja, Ayatullah Murtadha Muthahhari dan Ayatullah Ruhullah Khomeini. Sedangkan yang paling menonjol dalam kelompok intelektual awam adalah Ali Syari’ati, Mehdi Bazargan dan Bani Sadr.[1]
Iran flag - by Aslan Kachar, Sumber: Aslan Kachar deviantart
Sebagai mujtahid dan menyandang posisi marja’, para ulama tersebut memainkan peran kunci yang menghembuskan kesadaran keberagamaan dan ideologi yang kuat di tengah-tengah masyarakat. Hal itu terus-menerus dilakukan dan diperkuat oleh para ulama hingga terjadinya Revolusi Islam Iran pada 1979 yang mengamanahkan kedudukan resmi pada ulama.

Imam Khomeini dan Murtadha Muthahhari berdiri tegar sebagai corong suara ulama yang menentang kekuasaan tirani Syah Reza Pahlevi. Dengan segala ativitasnya, baik melalui tulisan, ceramah, lembaga pendidikan, hauzah, husainiyah, organisasi, dan lainnya, mereka berusaha membangun kesadaran politik ulama dan rakyat. Perjuangan mereka ternyata membuahkan hasil, dengan terjadinya Revolusi Islam, meskipun akhirnya Muthahhari menyumbangkan darahnya untuk menggapai syuhada dalam perjuangan tersebut.

Ali Syari’ati (1933-1977) dapat dikatakan salah seorang di antara tokoh “ulama” dan intelektual awam yang paling berpengaruh dalam kebangkitan Revolusi Islam Iran.[2] Syariati merupakan pribadi yang kompleks, elektik, sekaligus emosional dan kontroversial. Sikap elektiknya membuat ia mampu dalam tarikan nafas yang sama menyebut Imam Ali, Imam Husein dan Abu Dzar, Jean Paul Sartre, Frantz Fanon, Emile Durkheim, Max Weber dan Karl Marx. Sehingga Azra menulis, bahwa pemikiran Syari’ati nampaknya tidak terlalu sistematis; tidak jarang terlihat bahwa pemikiranya dalam banyak tema penuh kontradiksi. Karena itu, Syari’ati tampil dalam banyak wajah, yang pada gilirannya membuat orang sering keliru memahaminya.[3]

Lantaran ketenarannya sebagai seorang orator, Syariati tampaknya telah memainkan peran penting dalam penciptaan suatu potret diri Islam baru yang aktivis dan revolusioner. Dalam cara semacam ini, ia telah mempengaruhi kebanyakan kelas menengah berpendidikan Barat untuk memandang Islam sebagai titik api untuk bertindak menentang Syah. Ia sering dikritik para ulama–-tentunya lantaran serangannya terhadap mereka–-tetapi kalangan tertentu ulama mulai memahami nilai dan makna penting pengungkapan Islam yang aktivis seperti dikemukakan Syariati. Lantaran pengungkapan tersebut meletakkan figur Husain di titik pusatnya, maka ia juga menarik minat berbagai kelompok Muslim yang lebih tradisional. Dalam suatu pengertian, karya Syariati telah lengkap sebelum ia dipenjarakan pada 1973, dan kematiannya yang terlalu dini pada 1974 setidak-tidaknya telah meningkatkan pengaruhnya.[4]

Salah satu pertarungan ideologis penting di Iran adalah pertarungan ideologi Islam (syiah) dengan ideologi Barat. Baik yang bercorak komunisme, marxisme maupun materialisme. Peracunan ideologi Islam oleh ideologi Barat ini menyebabkan bobroknya kondisi Iran baik dari segi keberagamaan dan sistem politik yang dibentuk oleh Syah. Materialisme dengan pandangan dunianya yang khas, menolak keberadaan unsur kegaiban yang merupakan pandangan dunia ilahiah. Hal ini, akan mengancam doktrin-doktrin inti dari agama Islam. Begitu pula, unsur-unsur sekularisme dan liberalisme, mewarnai jalannya pemerintahan dan politik di Iran.

Marxisme misalnya dikembangkan secara organisatoris oleh Partai Tudeh yang dirikan pada 28 september 1941, yang pada 1960 dengan jelas dan terbuka mengacu pada ideologi Marxis-Leninisme. Dengan cerdiknya, untuk tidak menyinggung sensitifitas keberagamaan masyarakat, kelompok ini mengembangkan isu sosialisme Islam. Mereka mengklaim sebagai pendukung agama Islam dan menghargai ajaran Nabi Muhammad saw. Untuk menjaga kondisi psikologis masyarakat, kelompok ini tidak melakukan serangan terbuka terhadap ajaran-ajaran Islam dan para ulama. Strategi yang dikembangkan adalah, jangan membebani diri dengan perdebatan kontroversial mengenai ushuluddin seperti keberadaan Tuhan, peran agama dalam masyarakat, atau kedudukan agama dalam pemikiran Marxis, akan tetapi kembangkan dan presentasikan bahwa kelompok ini adalah bertanggung jawab untuk menciptakan keadilan sosial, kemerdekaan, perdamaian, anti-fasisme, sehingga bisa menarik masyarakat dan para intelektual serta psofesional terdidik. Setelah masuk dan menjadi anggota partai ini, barulah ditanamkan prinsip-prinsip sosialisme yang berdasarkan pada materialisme dialektis.[5]

Kondisi ini, memunculkan kesadaran kaum intelektual dan ulama akan kondisi Iran yang semakin parah. Dari sini disepakati secara luas bahwa akar permasalahan yang dihadapi adalah pembauran atau pembaratan, penggerogotan akidah dan pengaburan ajaran Islam, atau setidak-tidanya beberapa aspek darinya. Orang-orang mulai berbicara tentang “kuman penyakit Barat” atau “peracunan Barat” (gharbzadeghe) dan sebuah buku dengan judul senada diterbitkan oleh Jalal Ahmad pada 1962. tentunya hal ini merupakan suatu cara yang lebih canggih dalam mengungkapkan bahaya–-yang dirasakan kaum Muslim di mana saja–-akan kehilangan jati diri Islam mereka.[6]

Dengan kesadaran tersebut, para ulama dan intelektual Iran yang religius, menulis berbagai buku dan menyebarkan kaset-kaset ceramah yang membantah secara akurat prinsip-prinsip materialisme atau marxisme. Allamah Thabathabai dan Murtadha Muthahhari misalnya, menaruh perhatian khusus kepada filsafat Materialisme. Mereka dengan jeli mengkaji dasar-dasar ideologis filsafat tersebut dan memberikan bantahan-bantahan jitu secara filosofis. Beragam pamflet dan buku-buku yang diedarkan Partai Tudeh, dipelajari Muthahhari, seperti karya Taqi Arani yang terkenal. Hasil kajian dan analisis, dituangkan dalam buku tebal dan berbobot Ushul el Filsafat wa Ravesh-e Realism, (Prinsip Filsafat dan Metode Realistik).






[1] Lihat Azyumardi Azra. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm 67.
[2] Tentang kehidupan dan pemikiran politik Ali Syariati dapat dilihat dalam Ali Rahnema. Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta: Erlangga, 2002).
[3] Berikut Merupakan salah satu gaya penulisan Syariati: “Kemudian Isa (as) muncul. Ia menghapuskan agama Yahudi dan menggulingkan kekaisaran Romawi. Namun kaisar mengubah namanya menjadi Paus, para rabbi Yahudi digantikan dengan pendeta-pendeta Kristen, para senator Romawi yang lama menjadi pendeta dan kardinal-kardinal Vatikan, tempat tersebut dinamakan gereja dan Jupiter berperilaku seperti Isa.” Yang ditandaskan Syariati di sini adalah bahwa sekalipun terjadi perubahan besar-besaran dalam nama-nama dan gagasan-gagasan, namun pemegang-pemegang kekuasaan tetap berkuasa; dan barangkali yang terutama ada dalam benaknya adalah lembaga keagamaan Iran yang dipandangnya tidak mampu bertindak efektif menentang penindasan. Ia menyadari bahwa seluruh gerakan pembebasan di dunia berjuang menentang penindas-penindas kolonialis dan neo kolonialis yang sama. Ia memandang bahwa Islam sejati terikat untuk menegakkan keadilan sosial dengan jalan menentang seluruh bentuk kekuatan yang menindas; dan ia memberi pijakan islami untuk gagasannya ini dengan menggunakan istilah al-Qur’an “yang tertindas” (mustad’afin) serta dengan menyeru kaum muslimin mengemban tugas tradisionalnya “Amar ma’ruf nahi munkar”, memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran. Lihat: William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 277-278.
[4] Lihat William Montgomery Watt. Fundamentalisme, hlm 278.
[5] Lihat Ali Rahnema. Ali Syariati, hlm 10.
[6] Op Cit, hlm 276.

Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Negara Syiah Modern, Republik Islam Iran (Bag 3) - Kondisi Ideologis"

Posting Komentar