Kartini Kini, dalam Perannya Terhadap Globalisasi Informasi (Bag 2) - Feminisme yang Kebablasan

Upaya-upaya gerakan feminisme yang selama ini masih menjadi perbincangan hangat disemua kalangan hanya cerita dan citra eksklusif para wanita yang sudah “tercerahkan” dari kehidupan rumah tangga saja. Eksklusif artinya, untuk menunjukkan sejumlah minoritas wanita yang benar-benar getol mempromosikan dirinya sebagai orang yang kuat secara kognitif - psikologis dan punya pengaruh besar dalam rimba laki-laki.
Indonesia womens march, Sumber: aprilmag
Sementara mayoritas wanita lainnya, justeru memahami feminisme bukan lagi pada persoalan bahwa mereka tidak sanggup keluar dari “penjara” rumah tangga untuk bersikap lebih “jantan”. Alih-alih, pemahaman tentang peran dan tanggung jawab diri terhadap lingkungan sosialnya dimanifestasikan dengan citra-citra yang melampui pemahaman tentang kesadaran feminisme dan cenderung lebih “beringas” dari laki-laki.

Wardah Hafiz dalam Feminisme sebagai Counter Culture (Ulumul Qur,an edisi khusus, No. 5 & 6, Vol. V, 1994) melihat ada sejumlah kekeliruan tafsir terkait feminisme itu sendiri. Menurutnya, banyak orang yang tidak sepenuhnya memahami apa feminisme itu. Ada semacam tuduhan yang salah kaprah tentang feminisme yang dideskreditkan sebagai gerakan para perempuan “tukang bakar BH”, “anti lelaki”, “perusak keluarga”, “tidak mau punya anak” dan sejenisnya. Sejatinya, tegas Wardah, feminisme pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai budaya tandingan (counter culture).
Menilik pada fenomena globalisasi pasar informasi dan komunikasi dengan berbaurnya berbagai komodifikasi gaya hidup masyarakat perkotaan dalam atribut-atribut hedonisme, konsumerisme dan seks bebas, yang telah difasilitasi kapitalisme sedemikian rupa, merupakan salah satu fenomena sentral yang, sangat mungkin, menggambarkan apa yang ditegaskan Wardah dalam poin pertama tersebut sebagai kekeliruan memaknai feminisme.

Secara khusus, bila kekeliruan memakanai feminisme dialamatkan pada wanita-wanita di perkotaan, hampir sama saja. Mengapa? Tengarai ini tampaknya semakin mempopulerkan pandangan bahwa isu-isu miring yang mengtasnamakan wanita-wanita kampus sangat santer terdengar. Dari yang berprofesi sebagai “ayam kampus” sampai beredarnya sejumlah film khas erotisme mahasiswa merupakan rahasia umum di lingkungan akademis dan masyarakat luas.

Tanpa harus mereduksi peran wanita sejatinya, fakta-fakta tersebut menjawab sebuah pertanyaan, bahwa ketika sebuah pembongkaran wacana feminisme menjadi sebuah keharusan yang niscaya bagi sebuah peradaban bangsa, dan ketika sikap permisif laki-laki terhadap peran wanita di luar rumah tidak bisa diabaikan, maka pada saat yang sama muncullah sebuah “budaya tandingan” yang dalam komik Detektif Kindaichi disebut “psikologi terbalik”.

Dalam perkataan lain, pembalikan psikologis wanita yang sebelumnya berada pada posisi objek budaya dan rekayasa politik (tubuh) patriarkhal sangat dominan, maka ketika globalisasi membuka diri terhadap signifikansi perempuan di wilayah publik, setidaknya implikasi psikologis yang pertama muncul adalah ”bagaimana melawan lelaki dan mengalahkannya.” Buntutnya, penjelmaan baru wanita yang diamini kapitalisme dengan produk budayannya yang, alih-alih menjadi subjek pembangunan, justru mereka kembali terbenam menjadi sebatas feminisme semu (pseudo feminism) yang lagi-lagi menjadikannya obyek budaya gaya baru.

Munculnya pusat kebugaran (fitness center), membludaknya pasar iklan gaya hidup, shopping mall, dan beraneka ragam tetek-bengek produk khusus wanita lainnya, berimplikasi pada komodifikasi ekstrim budaya yang menempatkan wanita tidak lebih sebagai komoditas atau manusia yang ”diperjualbelikan”. Tesis Jean Baudrillard –pakar Komunikasi asal Perancis— tentang ekstase komunikasi (the extacy of communication), adalah bentuk sindiran terhadap menjalarnya lalu-lintas pasar informasi-kommunikasi dewasa ini menjadi candu yang memaksa siapa saja, termasuk wanita, untuk menikmati suguhannya.

Wanita, khususnya di Indonesia, mengalami berbagai macam kejutan impulsif atas dinamika peran emansipatif, disaat krannya dibuka secara lebar, sehingga cenderung membludakkan “air segar” feminisme yang begitu deras ke arah-arah yang lebih vulgar dan melanggar tabu-tabu sosial yang seharusnya “dipertahankan”. Ledakan-ledakan itu bisa saja memunculkan berbagai serpihan-serpihan psikologis wanita, bahkan dalam bentuk pembalikan yang paling kontras (negatif).

Kartini-Kartini muda secara menyeluruh, sudah semestinya tidak melihat persoalan feminisme terbatas pada peran serta perjuangan mgngnai hak-hak wanita secara adil, terlebih, dengan memahami bahwa feminisme adalah sebuah persoalan yang multidimensional. Setiap sisi-sisi wanita berpengaruh terhadap semua kehidupan sosial. Wanita sebagai manusia, layaknya mengambil bagian dalam setiap produk kemanusiaan. Lebih dari sekadar membangun kritisisme emansipatif yang sensitif gender, wanita tidak semata memposisikan dirinya sebagai counter culture, akan tetapi sebagai diri yang mendekonstruksi dirinya sendiri dalam wujud fitrah kewanitaannya.

Selamat Hari Kartini.


Tamat.

Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Kartini Kini, dalam Perannya Terhadap Globalisasi Informasi (Bag 2) - Feminisme yang Kebablasan"

Posting Komentar